Selasa, 05 Oktober 2010

Para Pengkhianat Cinta

Deru motor Johan memecah kesunyian pagi yang begitu dingin. Jl.Jendral Soedirman pagi ini begitu sepi,cuma beberapa motor yang lewat serta beberapa orang yang sedang lari pagi. Toko-toko di sepanjang jalan masih tertutup rapat dan belum menunjukkan tanda-tanda akan buka. Mungkin hari ini masih terlalu pagi, Johan nggak sempat ngeliat jam dinding ketika pergi tadi. Hatinya dongkol pagi ini,bukan hari ini saja tapi hampir setiap hari. Orang tua Johan bertengkar lagi,yang membuat hati Johan nggak kuat berada di rumah adalah ketika ngeliat Papa menampar Mama tadi sebelum ia pergi.
Sebenarnya bukan salah Papa juga jika Papa sampai tega menampar Mama,mungkin Johan juga akan ngelakuin hal yang sama bila seseorang yang dia sayangi sampai tega mengkhianatinya. Mama telah berselingkuh dengan teman sekantor Papa,Johan nggak tahu apa alasan Mama sampai berbuat selingkuh dan orang ke-3 itu adalah teman baik Papa di kantor.  Mungkin saja Papa terlalu sibuk dengan urusan kantornya sampai kurang memberikan perhatian kepada Mama. Tapi itu bukan alasan yang tepat,bukankah Papa sibuk bekerja demi mencari uang buat keluarga,terutama buat Mama. Banyak uang yang harus Mama buang sia-sia cuma buat belanja dibutik-butik yang serba mahal demi menjaga gengsi di depan teman-teman arisan Mama.

Johan semakin mempercepat laju motornya,bayangan-bayangan pertengkaran orang tuanya semakin membuat hatinya sesak. Pengen banget dia pergi sejauh mungkin dan nggak kembali lagi ke rumah. Biar nggak ngeliat kejadian-kejadian menyedihkan itu lagi,apalagi berada dalam keluarga berantakan yang nggak mungkin bisa kembali seperti dulu lagi karena Mama sedang mengandung anak dari hasil perselingkuhannya. Tapi Johan nggak mungkin ninggalin Lesya,pacarnya yang amat ia cintai itu pasti bakalan sedih banget. Johan nggak mau menyakitinya,nggak pengen seperti Mama yang tega-teganya menyakiti Papa. Setitik air mata menetes di pipi Johan,kenapa aku begitu rapuh,batin Johan. Dia menyeka air matanya. Satu ide terbersit dipikiran Johan,dia akan pergi ke rumah Om Beny saja. Mungkin buat satu dua bulan ini saja,itu udah cukup buat menenangkan diri. Dan dia akan ke rumah Lesya buat minta ijin meski hari masih terlalu pagi.
Hangatnya mentari pagi udah mulai terasa di kulit Johan yang semula kedinginan. Laju motor Johan tetap kencang  meski di depannya ada tikungan yang cukup tajam. Johan kaget banget  karena satu meter di depannya sebuah truk sedang parker. Nggak ada waktu lagi buat mengerem motornya. Diapun juga nggak bisa menghindari truk itu karena dia nggak mengurangi kecepatan motornya saat membelok tadi,jaraknya terlalu dekat mungkin semeter.
“Brakkk…..”
***
Johan merasakan suasana di sekitarnya menjadi gelap. Suara orang-orang di sekitarnya cuma samar-samar saja,nggak jelas apa yang mereka bicarakan. Saat membuka mata orang-orang udah mengerumuni dirinya. Sesaat Johan ingat beberapa waktu yang lalu dia menabrak truk. Dia ngeliat motornya ringsek dan asap putih mengepul. Pasti motornya terbakar mesinnya,Johan jadi sedikit menyesali kenapa dia harus ngebut padahal dia harus ke rumah Lesya. Johan meninggalkan kerumunan orang-orang di sekitarnya. Dalam pikirannya ia cuma pengen cepat-cepat ke rumah Lesya dan pamit buat menenangkan diri ke rumah Om Beny di Jogja. Johan yakin Lesya akan mengerti dan mengijinkannya pergi.
Johan ngeliat jam di tugu perempatan jalan. Sekarang udah jam 9 pagi,seingatnya barusan masih jam 6 mungkin tadi ia kelamaan pingsan. Johan menyusuri trotoar yang mulai rame oleh pedagang kaki lima. Toko-toko udah banyak yang buka,orang-orang mulai sibuk dengan aktifitasnya. Tampaknya Johan lewatpun udah bukan menjadi perhatian lagi,bukan seseorang yang penting dilihat.
Johan jadi merasa sepi padahal tempat ini ramai dan bising dengan suara motor yang lewat. “Ya Tuhan rasanya aku pengen mati aja” gumam Johan lesu.
Sebuah gang kecil udah mulai tampak dari kejauhan. Johan tersenyum lega,akhirnya nyampe juga,batinnya. Pastinya yang paling Johan harapkan adalah sebuah sambutan ceria seperti biasa jika Johan dateng ke rumah Lesay,Lesya adalah gadis yang selalu ceria bila bersamanya. Johan jadi semakin kangen dan nggak sabar pengen ketemu pacarnya itu.
Johan memasuki gang yang lebarnya satu meter, setelah berjalan kira-kira 100 meter pandangannya tertuju pada sebuah rumah mungil bercat biru. Rumah Lesya yang kecil tapi bagus,keluarganya pun harmonis nggak seperti keluarga Johan yang bagai neraka.
Johan terpaku menyaksikan pemandangan di depannya. Dia mengucek-ucek matanya seakan nggak percaya dengan penglihatannya,berusaha menyadarkan dirinya karena mungkin ini cuma mimpi. Tapi nggak, ini nyata. Lesya pacar tercintanya sedang mengobrol mesra dengan seorang cowok yang nggak asing baginya,dia Ardi sahabat Johan sejak SD. Seketika perasaan benci,marah,dan kecewa berkecamuk dihatinya. Apalagi saat ngeliat Lesya mencium pipi Ardi,apa mereka cuma teman biasa kalo sampai mencium pipi?. Johan langsung berlari menjauh dari rumah Lesya tanpa menegur mereka,mereka juga nggak menyadari kehadirannya.
“ Dasar orang-orang brengsek!pengkhianat!” umpat Johan di sepanjang jalan. Johan terus berlari dan berlari.
Johan berhenti di depan sekolahnya di SMU Negeri 5. Dia masih berusaha mengatur nafasnya yang naik turun ketika seorang bapak tua menghampirinya.
“ Ada apa nak Johan,kog ngos-ngosan gitu?habis dikejar anjing ya?” bapak tua itu menepuk pundak Johan. Dia pak Udin,tukang kebun di sekolahku.
“ Nggak apa-apa pak!sedang olahraga lari aja biar sehat!” Johan jelas sekali berbohong karena nggak mungkin orang olahraga tanpa sepatu,cuma memakai sandal jepit lagi.
“ Ndak usah bo’ong nak,pasti sedang ada masalah ya?mari duduk dulu di pos satpam sambil istirahat!” pak Udin membimbing Johan duduk di pos satpam yang kosong. “ Tadi ada yang nyari nak Johan kesini lho!”
“ Siapa pak?laki-laki apa perempuan?” pastinya Mama,tebak Johan dalam hati.
“ Kalo nggak salah tadi dia bilang ibunya nak Johan.Emang kenapa kog nak Johan sampe kabur dari rumah?” pak Udin penasaran.
“ Ada masalah keluarga pak!” Johan menunduk lesu, pengen banget nangis tapi malu.
“ Cerita aja nak sama bapak, mana tau bisa mengurangi beban perasaan nak Johan!” pundak Johan ditepuk-tepuk pak Udin.
Johan masih tetap menunduk menahan tangis, rasanya dadanya mau meledak apalagi ditambah kejadian yang ia lihat di rumah Lesya barusan. Kenapa semua wanita yang dulu ia kagumi telah menorehkan luka di hati Johan. “ Saya pulang dulu pak, mau ketemu Mama saya!makasi pak” Johan berlalu meninggalkan pak Udin.
***
Di sepanjang perjalanan Johan hanya melamun, jalannya limbung dan pikirannya kalut. Dia melintasi jalan dimana ia mengalami kecelakaan tadi. Tempat dimana ia mengalami kecelakaan sudah diberi garis pembatas polisi. Masih terlihat motor Johan yang asapnya mengepul dan keadaan motor itu sudah ringsek. Banyak orang mengerumuni tempat itu seperti ngeliat tontonan yang seru saja. Johan melintasi mereka tanpa peduli lagi dengan motornya. Orang – orang itu juga mungkin nggak tahu dialah korban kecelakaan itu.
Karena Johan hanya berjalan kaki maka buat sampai kerumahnya jadi lama. Johan sudah nggak peduli dengan kakinya yang begitu lelah dan seperti mau patah. Pikirannya sedang nggak karuan, bayangan-bayangan yang menyakitkan hatinya terus berkelebat. Kepulangan Johan cuma buat ngambil pakaiannya dan nanti akan langsung pergi ke rumah Om Benny. Biar saja Papa Mama marah ataupun bertengkar lagi Johan sudah nggak peduli.
Rumah Johan begitu ramai oleh tetangga yang berdatangan, mereka berpakaian serba hitam. Pasti ada orang yang meninggal di rumah, tapi siapa?. Bendera putih di depan rumah semakin memberi petunjuk kalo ada orang yang meninggal. Johan menebak-nebak siapa yang meninggal, dia jadi takut buat tahu dengan apa yang terjadi di dalam. Apakah mungkin Mama yang meninggal bunuh diri karena menyesal sudah mengkhianati Papa. Ataukah Papa yang meninggal karena frustasi dan minum racun. Ahh!semua itu membuat Johan semakin penasaran tapi takut menerima kenyataan yang ada. Ada sebuah penyesalan kenapa dia harus kabur disaat orang tuanya sedang bertengkar hebat. Seharusnya dia bisa melerai karena bisa saja salah satu dari mereka ada yang khilaf dan tega membunuh. Air mata yang sejak pagi tadi ia tahan akhirnya menetes juga di kedua pipinya. Ketegaran seorang laki-laki akhirnya pupus oleh berbagai kenyataan yang menyakitkan.
Johan berlari memasuki rumahnya yang penuh dengan orang-orang yang sedang melayat. Seorang jenazah yang terbujur kaku di ruang tengah nggak tampak wajahnya karena tertutup kain putih. Johan hanya berdiri termangu dan bingung dengan apa yang mesti dilakukannya. Dari kamar orang tuanya terdengar seseorang sedang menangis histeris. Beberapa ibu tetanggga sedang sibuk menenangkan seseorang yang menangis itu. Johan langsung bisa menebak siapa orang yang meninggal, pastilah Papa karena Mama sedang menagis di kamar. Air mata Johan semakin deras, ia pun berlari menghampiri kamar Mamanya ingin tahu dengan apa yang terjadi. Mama harus bertanggung jawab dengan kematian Papa, apalagi ada beberapa polisi yang juga ia lihat sedang menunggu di depan rumah tadi.
“ Mama…!!!” panggil Johan hampir serak. Mama Johan masih tetap menangis histeris.
“KENAPA SEMUA INI BISA TERJADI,KENAPAAAA!!!!” Mamanya menangis sambil berteriak-teriak.
“ MAMA!!” bentak Johan.”Kenapa Mama tega membunuh Papa,kenapa?apa salah Papa?” Johan terduduk lemas.
“ Maafin Mama Johan…maafin Mama…” isak Mamanya.
“ Mama jahat…padahal Papa sayang banget sama Mama tapi Mama udah tega mengkhianatinya sampe membunuh Papa…MAMA JAHATTTT” teriak Johan sambil tersedu-sedu, ia beranjak pergi pengen melihat mayat Papanya buat yang terakhir.
“JOHAN…JANGAN PERGI SAYANG…JANGAN TINGGALIN MAMA…JOHANNNN JANGAN MATI!!!” Mamanya pingsan.
Johan kaget dengan perkataan Mamanya, rasanya ia nggak percaya dan bingung. Seseorang bersama polisi masuk rumah mengenakan baju hitam, dia adalah Papa. Papanya masih hidup, terus siapa yang meninggal? Johan semakin bingung dan penasaran. Dia menghampiri seorang mayat yang tertutup kain dan dikelilingi orang-orang yang membaca Yasin. Johan membuka pelan-pelan menutup kain di wajah si mayat. Seseorang yang tidak asing ia lihat. Yang ia lihat adalah wajahnya sendiri dengan muka pucat dan penuh lebam. Johan berasa dingin sekali menyadari apa yang terjadi ternyata dia sudah meninggal. Jadi sedari tadi orang-orang nggak melihat dia karena dia adalah roh.
“TIDAKKKKKKKK” pekik Johan dan kemudian dunia sekitar tiba-tiba menjadi gelap gulita.
***
“Sayang!kamu udah sadar nak?” suara lembut dan nggak asing terdengar di dekat telinga Johan. Johan membuka mata pelan-pelan. Sinar lampu menyilaukan matanya. Tampak Mamanya tersenyum melihat Johan membuka Mama.
“Gimana perasaanmu?ada yang sakit?Mama panggilin dokter ya?” Mama beranjak pergi keluar ruangan. Ternyata Johan di kamar sebuah rumah sakit. Kepalanya masih agak pusing dan kakinya nyeri dibungkus perban.
Lesya tersenyum di sisi pembaringan Johan. “Kog gue bisa ada disini Sya?” Johan kebingungan.
“ Elo tadi pagi kecelakaan menabrak truk di Jl.Jendral Soedirman, Mamamu bilang elo kabur dari rumah ya?” Lesya mengusap-usap pipi Johan.
“ Papa gue mana Sya?” tanya Johan sejak tadi ia nggak melihat Papanya.
“ Papa elo lagi ngurus biaya administrasi paling sebentar lagi juga dateng!”
“ Ardi mana Sya?” Johan ingat dengan kejadian perselingkuhan Lesya.
“ Ardi? Bukannya elo bilang Ardi pindah ke Medan ikut neneknya? Kog elo malah nanya gue?” Lesya tampak bingung. Seorang dokter masuk ke ruangan Johan dirawat diikuti suster dan Mamanya. Setelah seminggu di rawat karena kaki Johan patah akhirnya Johan bisa pulang ke rumah meski harus berjalan di bantu tongkat.
Johan baru menyadari kalo semua kejadian sebelum ia kecelakaan hanyalah mimpi apalagi tentang perselingkuhan Lesya dan Johan yang melihat mayatnya sendiri. Tapi ada hal yang membuat Johan merasa bersalah karena sewaktu kecelakaan ia menabrak pak Udin tukang kebun sekolahnya yang kebetulan sedang berada di dekat truk yang ia tabrak. Pak Udin meninggal di tempat. Dan mimpi Johan bertemu pak Udin mungkin saja sebuah firasat akan kepergian pak Udin. Pak Udin mungkin pengen pamit meski cuma lewat mimpi. Karenanya Johan sebulan sekali rajin mengunjungi makam pak Udin dan mendoakannya.
Kini semua telah berubah. Papa dan Mama Johan nggak pernah berantem lagi. Keluarga Johan sudah berubah menjadi keluarga yang bahagia dan harmonis. Papa sudah maafin Mama dan menerima anak di kandungan mama. Johan dan Lesya pun kini juga semakin mesra dan sudah bertunangan.
The End

CINTA ABADI


Lampu merah di perempatan jalan nggak juga berubah menjadi hijau. Mila udah nggak sabar karena sebentar lagi dia telat masuk kantor. Udah dua kali Mila ditegur pak Dani atasannya di kantor  gara-gara dia telat masuk. Sebenarnya alasannya tiap kali telat adalah sama yaitu dia kesiangan bangun karena penyakit imsomnianya.
Seseorang mengetuk kaca mobil Mila sambil mengulurkan tangan. Tampak seorang lelaki tua berbaju compang camping dan berwajah kusut. Mungkin saja bapak tua ini udah nggak makan dari kemarin, pikir Mila dengan perasaan iba. Untuk kedua kalinya bapak tua itu mengetuk kaca mobil Mila. Mila mengambil selembar uang ribuan di dashboard dan membuka kaca mobilnya.
“Terimakasih nak,semoga rejekinya lancar!” kata bapak tua itu setelah menerima uluran uang ribuan dari Mila.
“Amin pak” sahut Mila sambil tersenyum. Bapak tua itu pergi dengan langkah tertatih-tatih. Mila masih terus memandangi kepergian pengemis itu sampai nggak sadar kalo lampu udah hijau. Bunyi klakson mobil di belakangnya mengagetkan Mila. Mila buru-buru tancap gas memburu waktu biar nggak telat masuk kantor lagi.
Pengemis tua tadi mengingatkan Mila pada seseorang yang pernah mengisi hari-harinya sewaktu masih kuliah dulu. Waktu itu dia masih kuliah di semester empat jurusan teknik telekomunikasi. Dia mempunyai pacar bernama  Abadi kakak senior dua tingkat di kampusnya. Dia seseorang yang begitu dewasa dan perhatian. Sudah setahun mereka berpacaran bahkan orangtua keduanya sudah saling menyetujui hubungan mereka.
Sebagai anak kost yang jauh dari orangtua kehadiran kak Abadi seperti seorang kakak bagi Mila. Apalagi kak Abadi begitu baik membantu semua kesulitan yang Mila hadapi. Maklum Mila anak tunggal jadi Mila begitu manja dan gampang ngambek. Namun kak Abadi begitu sabar dan nggak pernah marah menghadapi Mila yang terkadang menyebalkan. Mungkin kak Abadi maklum karena Mila biasa dimanjakan oleh kedua orangtuanya.
“La,kamu udah makan?” tanya kak Abadi ketika sewaktu Mila tengah sibuk mengerjakan tugas dikomputer. Seperti biasa Mila numpang mengerjakan tugas-tugasnya di komputer kak Abadi karena laptopnya hilang. Udah ketiga kalinya laptop Mila hilang karena keteledorannya dalam menaruh barang.
“Belum!” jawab Mila masih tetap sibuk mengetik.
“Berarti dari tadi siang kamu belum makan?” kak Abadi kemudian mendekati Mila.
“Belum!” Mila menjawab dengan entengnya.
“Ya ampun La,ntar kalo kamu sakit lagi gimana?kamu kan punya sakit maag?” kak Abadi terlihat panik.
“Tapi Mila nggak laper kak!” Mila mulai manja.
“Meski nggak laper tapi kamu tetep harus makan dengan teratur tiga kali sehari. Ntar kakak yang dimarahi mamamu kalo kamu sampe sakit gara-gara telat makan!” kak Abadi mengambil mouse di tangan Mila dan mematikan komputernya dengan paksa.
“Ah,kakak! Kan tanggung tinggal dua lembar lagi” Mila kumat lagi merajuknya. Bibirnya mulai manyun dan mukanya cemberut.
“Kan bisa diterusin besok, atau ntar malam biar kakak yang ngerjain deh!” bujuk kak Abadi biar Mila nggak ngambek lagi.
“Ya udah, terus kita mau makan apa nih?” Mila masih terlihat ngambek.
“Sate” kata kak Abadi sambil memakai jaket kesayangannya.
“Bosen!” sahut Mila pura-pura padahal sate adalah makanan kesukaannya dari kecil.
“Udah nggak usah kebanyakan ngeles! Ayo berangkat” kak Abadi menarik Mila dan memboncengnya dengan motor Satrianya.
Motor kak Abadi melaju kencang menembus keramaian kota Purwokerto di malam minggu. Angin malam berhembus dan mulai terasa dingin. Mila merapatkan pelukannya di pinggang kak Abadi yang begitu jangkung. Di sebuah perempatan kak Abadi menghentikan motornya karena lampu merah menyala. Seorang lelaki tua memakai caping mendekati mereka, dia mengulurkan tangan meminta sedekah. Mila pura-pura sibuk melihat baliho besar di perempatan jalan yang mengiklankan konser sebuah grup band yang terkenal.
“La,ada uang seribuan nggak?” tanya kak Abadi berbisik.
“Nggak ada!” Mila berbohong padahal ada sekitar empat lembar seribuan di dompetnya.
“Duh kakak juga nggak ada!” kak Abadi sibuk merogoh saku celana jeansnya tapi nggak menemukan apa-apa. Kemudian menyodorkan uang lima ribu yang di ambil dari dompetnya.
“Terima kasih banyak! Semoga Allah menerima semua amal ibadahnya!” pak Tua pengemis itu menciumi uang yang diberikan kak Abadi dengan begitu terharu.
“Amin pak! Sama-sama” kak Abadi tersenyum tulus. Lampu hijau menyala, kak Abadi tancap gas lagi menuju warung sate Madura langganan mereka.
Setelah memesan dua piring sate beserta teh manis hangat mereka duduk di bangku yang masih kosong. Kebetulan warung sate malam ini sedang ramai pembeli.
“Kak, kenapa sih tadi pake ngasih pengemis itu lima ribu kao emang nggak ada uang ribuan?” Mila memakan satenya dengan lahap karena sebenarnya dia lapar sekali.
Kak Abadi hanya tersenyum mendengar pertanyaan Mila barusam.”Emang nggak boleh ya ngasih pengemis lima ribu?”.
“Sekarang ini ya kak, banyak pengemis bohongan yang pura-pura cacat atau menderita biar dikasihani. Padahal sebenarnya mereka sehat-sehat aja cuma karena males kerja jadi keenakan mengemis!” celoteh Mila sampai mulutnya belepotan bumbu sate.
“Kakak tau kog!”
“Lha trus kenapa tadi ngasih lima ribu? Kesenengan banget pengemisnya”
“Menurut kamu pengemis tadi bohongan apa nggak?” pertanyaan kak Abadi membuat Mila terdiam sesaat.
“Ehm,nggak tau kak!kayaknya sih bohong nyatanya cara jalannya sehat-sehat aja nggak pincang-pincang”
“Kira-kira umur bapak tua tadi berapa?” tanya kak Abadi lagi.
“Mungkin lima 60 atau 70 tahun!” jawab Mila mengira-ira.
“Kamu bisa bayangin nggak orang umur segitu yang seharusnya menikmati hari tuanya di rumah dan dirawat oleh anak-anaknya masih harus meminta-minta di jalanan padahal hari udah malam” kata-kata kak Abadi begitu dewasa.
“ Ya berarti salah anak-anaknya dong Kak!” Mila berkata spontan.
“Ok, mungkin emang anak-anaknya yang salah! Tapi seandainya kakek nenek kita atau orang tua kita yang mengalami hal itu gimana? Harus meminta-minta di jalanan hanya sekedar buat makan, bersyukurlah kita ini hidup dalam keadaan berkecukupan masih bisa makan sate seperti sekarang!” kak Abadi menunjukkan satu tusuk sate kepada Mila yang manggut-manggut.
“Iya kak, Mila nggak bisa bayangin seandainya papa seperti pengemis tua tadi!” Mila mulai iba dengan pengemis tadi dan merasa bersalah telah berbohong tentang uang ribuan tadi.
“Derajat pengemis paling rendah diantara pekerjaan-pekerjaan lain, mereka rela mempertaruhkan harga diri mereka untuk meminta-minta padahal sebenarnya tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah! Ya nggak?” Mila mengangguk-angguk mendengar nasihat kak Abadi yang menyejukkan hati.
“Makanya kita sebagai orang-orang yang diberi kehidupan yang berkecukupan harus selalu bersyukur bisa sekolah, bisa kemana-mana naik kendaraan, bisa makan tiga kali sehari, dsb. Kita juga harus kuliah yang rajin biar bisa bekerja dan juga harus merawat kedua orang tua kita waktu di hari tua mereka! Jangan sampailah mereka terlantar sehingga terpaksa mengemis karena udah nggak kuat bekerja lagi” kak Abadi tersenyum ketika melihat Mila masih manggut-manggut mendengar setiap ceramahnya.
“Iya kak!Mila paham sekarang. Mila udah salah mengartikan keadaan pengemis tadi” kata Mila malu.
“Makanya meski cuma lima ratus atau seribu itu sudah amat berharga bagi mereka, padahal mungkin bagi kita uang segitu cuma cukup buat parkir!”
“Iyalah! Buat beli mie instant aja sekarang nggak cukup” sahut Mila sambil tertawa.
“Nah kalo gitu kenapa kita harus pelit?selama niat kita sedekah biar ajalah pengemis-pengemis itu bohongan atau nggak. Allah yang akan mencatat amal ibadah kita dan memberikan balasan pada mereka yang pura-pura” Deg! Kata-kata kak Abadi barusan membuat wajah Mila merah padam karena malu dengan kebohongannya tentang uang ribuan tadi.
“Kak, sebenernya tadi Mila udah bohong sama kakak!” kata Mila malu.
“Tentang apa?” kak Abadi sedang menyeruput tehnya.
“Tentang uang ribuan tadi. Sebenernya Mila punya uang ribuan di dompet! Empat lembar ” Mila menunduk karena malu akan kebohongannya.
“Kakak udah tau kog!kan pas kamu beli es krim  di depan kost, uang kembaliannya ribu-ribuan ” kak Abadi tertawa.
“Ahh! Kakak kenapa diem aja dari tadi kan Mila jadi malu” Mila mencubiti lengan kak Abadi.
“Kakak kan cuma ngetes kejujuran kamu!” Kak Abadi menghindar dari serbuan cubitan Mila.
“Ihh..Mila kan tadi males ngambil dompet dari saku kak” Mila mencubit kak Abadi untuk yang kesekian kalinya dengan gemas.
“Aduhhh..udah dong nyubitnya!sakit nih” kak Abadi mengusap-usap lengannya yang perih.”
“Mila sayang kak Abadi!” kata Mila sambil memeluk pinggang kak Abadi erat ketika membonceng motor mau pulang ke kost.
“Kakak juga sayang banget sama kamu!” kak Abadi menggenggam dua tangan Mila yang memeluknya.
Mila tersadar dari lamunannya, nggak terasa air mata meleleh dibalik kacamatanya. Kini kak Abadi pacarnya yang juga suaminya telah tiada. Kak Abadi meninggal karena kecelakaan. Waktu itu hujan sangat lebat, kak Abadi yang bekerja di kota lain berencana pulang untuk bertemu Mila. Karena jalanan licin serta pandangan kurang jelas gara-gara hujan kak Abadi tergelincir dan ditabrak truk dari arah belakang. Kak Abadi sempat koma dan akhirnya meninggal dunia seminggu kemudian.
Setahun telah berlalu sejak kecelakaan itu tapi Mila masih belum bisa melupakan semuanya. Sepertinya ini hanya mimpi buruk dan Mila ingin segera bangun. Setiap malam Mila nggak bisa tidur dan terus terbayang-bayang sosok kak Abadi. Kak Abadi akan selalu abadi di hati Mila. Kebaikan dan nasihat-nasihatnya akan selalu terkenang sampai kapanpun. Selamat jalan cintaku Abadi.
THE END